Bahasa daerah di Indonesia
Bahasa-bahasa itu, tentu saja, terancam punah jika pemerintah dan kita semua tidak peduli. Bahkan ia bisa punah tanpa catatan sejarah jika tak ada dokumentasi akademiknya.
Bahasa yang terancam punah itu, menurut pakar Departemen Linguistik Universitas Indonesia, Multamia RMT Lauder, tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua. Bahasa ‘Lom’ di Sumatera, misalnya, hanya digunakan oleh sekitar 50 orang. Sementara bahasa ‘budong-budong’ di Sulawesi hanya dipakai sekitar 70 orang, bahasa ‘’dampal’ dipakai oleh 90 penduduk, ‘bahonsai’ oleh 200 orang, ‘baras’ oleh 250 orang.
Gawatnya lagi, ada bahasa yang hanya digunakan oleh 1 hingga 3 orang saja. Dalam hitungan hari atau bulan bahasa itu akan hilang dari sejarah. Bahasa ‘hukumina’ di Maluku, konon, hanya dipakai oleh 1 orang. Loh, jadi, bahasa ini dipakai berbincang dengan siapa?
Masih di Maluku, bahasa ‘kayeli’ menurut catatan hanya dipakai oleh 3 penduduk, sementara bahasa ‘kaela’ digunakan oleh 5 penduduk, ‘hoti’ oleh 10 penduduk, ’hulung’ oleh 10 orang. Setali tiga uang, alias sama saja kondisinya, di Papua, dulu Irian Jaya, bahasa ‘mapia’ juga hanya digunakan oleh 1 orang, sementara bahasa ‘tandia’ oleh 2 orang.
Tentu saja masih banyak lagi bahasa-bahasa lain yang keberadaannya tidak dikenali. Mungkin jumlah bahasa di negeri ini lebih dari sejuta.